Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik


Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Asas dan Tujuan

Asas
Pemanfaatan Teknologi ITE dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Tujuan
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
1.     mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
2.     mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
3.     meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
4.     membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
5.     memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.


Istilah dalam Undang-Undang
·         Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
·         Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
·         Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
·         Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
·         Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
·         Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
·         Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
·         Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
·         Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
·         Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
·         Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
·         Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
·         Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
·         Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmetika, dan penyimpanan.
·         Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
·         Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
·         Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
·         Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
·         Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
·         Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
·         Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
·         Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
·         Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.




Konten
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce[1]dan UNCITRAL Model Law on eSignature[2]. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik.
Beberapa materi yang diatur, antara lain:
1.     pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
2.     tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
3.     penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan
4.     penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)
5.     perbuatan yang dilarang (cybercrimes). Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
1.   konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
2.   akses ilegal (Pasal 30);
3.   intersepsi ilegal (Pasal 31);
4.   gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
5.   gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
6.   penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);

Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran(Unpad) dan Universitas Indonesia(UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.

Peraturan Pelaksana
Sembilan pasal UU ITE mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah:
1.     Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 ayat 2);
2.     Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 ayat 2);
3.     Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 ayat 6);
4.     Penyelenggara Sistem Elektronik (Pasal 16 ayat 2);
5.     Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 17 ayat 3);
6.     Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 ayat 2);
7.     Pengelolaan Nama Domain (Pasal 24);
8.     Tata Cara Intersepsi (Pasal 31 ayat 4);
9.     Peran Pemerintah dalam Pemanfaaatan TIK (Pasal 40);

Penyelenggaran Sistem Transaksi Elektronik
Dalam perjalanannya, poin no. 1-7 dijadikan satu peraturan pemerintah, dan juga sudah disahkan yaitu Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik ('PP PSTE'). Peraturan Pemerintah ini disusun sejak pertengahan tahun 2008 dan disampaikan ke Kemkumham awal tahun 2010. Kemudian dilakukan harmonisasi pertama, dan Menkumham menyerahkan hasilnya ke Menkominfo pada 30 April 2012. Menkominfo menyerahkan Naskah Akhir RPP ini ke Presiden pada 6 Juli 2012 dan ditetapkan menjadi PP 82 tahun 2012 pada 15 Oktober 2012. PP ini mengatur sistem elektronik untuk pelayanan publik dan nonpelayanan publik, sanksi administratif, tanggungjawab pidana serta perdata penyelenggara, sertifikasi, kontrak, dan tanda tangan elektronis, serta penawaran produk melalui sistem elektronik. (Aspek Hukum Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, Ronny, 2013)

Tata Cara Intersepsi
Poin nomor 8 tadinya sempat direncakan menjadi Peraturan Pemerintah tersendiri, akan tetapi koalisi masyarakat menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi tahun 2011. Mahkamah menyetujui serta mengharuskan Pasal ini dibuat Undang Undang tersendiri bukannya Peraturan Pemerintah karena intersepsi atau penyadapan membatasi sebagian hak asasi manusia yang menurut pasal 28J UUD 1945, harus berbentuk Undang Undang.
Indonesia Corruption Watch mengungkapkan bahwa RPP merupakan bentuk potensi intervensi Eksekutif terhadap lembaga penegak hukum, khususnya KPK, mengingat Pusat Intersepsi Nasional (PIN) dikelola dan dibentuk pemerintah, karena dibentuk dengan Keputusan Presiden.[3]
Catatan kritis ICW terhadap RPP tentang Penyadapan per 3 Desember 2009:
1.     Pasal 4 ayat (4) teknis operasional pelaksanaan intersepsi dilaksanakan melalui Pusat Intersepsi Nasional.
2.     Pasal 5 ayat (6) Hasil intersepsi rekaman informasi disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum melalui Pusat Intersepsi Nasional
3.     Pasal 8 Sertifikasi alat dan perangkat diatur dalam Peraturan Menteri
4.     Pasal 11 ayat (2) Dewan Intersepsi Nasional bertanggungjawab pada Presiden (tugas mengawasi pelaksanaan intersepsi di Polisi, Jaksa dan KPK)
5.     Pasal 21 ayat (2) Sebelum PIN dibentuk, Menteri dapat membentuk tim audit independen
6.     Pasal 21 ayat (6) Jika PIN sudah terbentuk, intersepsi yg dilakukan penegak hukum harus melalui PIN

Presiden dan dan jajarannya di kabinet akan menjadi orang-orang yang sulit atau mustahil disadap jika Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi (Penyadapan) disahkan. Presiden berperan membentuk Pusat Intersepsi Nasional dan mengangkat Anggota Dewan Pengawas Intersepsi Nasional. Selain itu ada enam instansi lain yang juga akan sulit disadap karena punya peran dominan bagi terlaksana atau tidaknya penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Enam instansi itu yaitu, Menkominfo, Jaksa Agung, Ketua PN Jakarta Pusat sampai Mahkamah Agung, Anggota PIN, Kapolri, dan Dewan Intersepsi Nasional. Kesulitan ini dapat berupa keputusan berlarut-larut atau infonya bocor.[4]
Pasca pembatalan pasal tersebut oleh MK, per 2015 Kemkominfo memprosesnya untuk membuat RUU TCI (Undang Undang Tata Cara Intersepsi). Meskipun RUU TCI ini tidak masuk dalam daftar longlist Program Legislasi Nasional 2015–2019, namun tidak menutup kemungkinan akan masuk dalam daftar kumulatif terbuka. Sehingga pilihan pertama usulan dimasukkan dalam prakarsa DPR dengan dititipkan dalam pembahasan RUU KUHAP inisiatif DPR. Alternatif kedua didasarkan pada usulan pemerintah yang dilatari pertimbangan kondisi tertentu serta harus mendapatkan izin prakarasa dari Presiden.[5]

Peran Pemerintah
Poin nomor 9 akan dijadikan Peraturan Pemerintah Peran Pemerintah dalam Pemanfaatan TIK. Akan tetapi, per 2016 PP ini tidak kunjung dibuat.

Perdagangan Elektronis
Terbaru, Pemerintah sedang menggodok dasar hukum untuk perdagangan elektronis atau e-Commerce. Meskipun bukan amanat UU ITE, tetapi ini merupakan amanat UU Perdagangan (pasal 66 ayat 4) dan mengacu kepada UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen[6]. Selain itu memang perkembangan e-Commerce yang tumbuh cepat membutuhkan dasar hukum dan melindungi konsumen, produsen dan para pemain e-Commerce. Pembuatan RPP tersebut diharmonisasi oleh kementerian terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Bank Indonesia serta Kementerian Perdagangan. Akan tetapi, meskipun naskah akademik RPP sudah beredar sejak tahun 2011[7], pengesahannya molor dan tidak ada perkembangan hingga terdengar kembali pasca boomingnya e-Commerce diawal tahun 2015 dimana Presiden dan Menteri sudah berganti. Menteri Kominfo Rudiantara menjanjikan Blueprint e-Commerce untuk meningkatkan pertumbuhan e-Commerce dan akan bersama Menteri Perdagangan untuk merumuskan aturan e-Commerce[8]

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Pencemaran Nama Baik
Pasal Pencemaran nama baik paling sering digugat ke MK. Terdapat dua kasus diawal UU ITE, yaitu PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009. Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”.[9]

Penghinaan SARA
Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak permohonan Judicial Review (uji materi) yang diajukan oleh pengacara Farhat Abbas. Farhat melakukan permohonan uji materi terhadap UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena terkena Pasal 28 ayat (2) gara-gara membuat pernyataan di media sosial twitter yang mengandung unsur penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Farhat dilaporkan ke Polda Metro tanggal 10 Januari 2013 oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. "MK menilai penyebaran informasi yang dilakukan dengan maksud menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan individu. Dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum," jelas Arief, Hakim Konstitusi. Polisi akhirnya tidak meneruskan laporan kasus ini karena laporan telah dicabut dan Farhat telah berdamai.[10]

Tata Cara Intersepsi
Terkait RPP Penyadapan, Meskipun Mahkamah Agung menganggap hal itu sah karena tidak bertentangan dengan UU[11], Mahkamah Kostitusi mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan begitu, Rancangan Peraturan Pemerintah Penyadapan, yang mengacu pada pasal itu, tidak bisa disahkan. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 24 Februari 2011. Majelis menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat, penyadapan harus diatur oleh Undang-Undang.[12]

Bukti Elektronis
Terbaru, dalam skandal "Papa Minta Saham" tahun atau Kasus PT Freeport Indonesia 2015 membuat Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengajukan permohonan uji materi atas Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang Undang KPK. “Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE,” ujar kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (25 Februari 2016). Adapun dua ketentuan tersebut mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah.

Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK terkait alat bukti elektronik yang sah. Novanto menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas mengatur tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.[13] "Perekaman yang dilakukan secara tidak sah (ilegal) atau tanpa izin orang yang berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak yang terlibat dalam pembicaraan secara jelas melanggar hak privasi dari orang yang pembicaraanya direkam," kata dia. Sehingga, bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena diperoleh secara ilegal. Majelis hakim Ketua MK Arief Hidayat pun memberikan saran perbaikan permohonan, sebab tidak ada kedudukan hukum pemohon sebagai anggota DPR.[14]

Penegakan Hukum
Lembaga lembaga di Indonesia yang menegakkan UU ITE diantaranya yaitu:
1.     Kementerian Komunikasi dan Informatika, berperan sebagai regulator, khususnya Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika yang memiliki 6 Direktorat, dan juga memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk menangani kasus-kasus pidana ITE.
2.     Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Unit IV Cybercrime, Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Badan Reserse Kriminal
3.     ID-CERT - Indonesia Computer Emergency Response Team. ID-CERT didirikan sebagai komunitas pertama yang didirikan tahun 1998 untuk menangani insiden di internet. Didirikan oleh Budi Raharjo (Pakar IT dari ITB)[15]
4.     ID-SIRTII/CC - Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure/Coordination Center. Lembaga yang dibangun beberapa komunitas TI Indonesia dan institusi negara untuk menangani ancaman infrastruktur internet. ID-SIRTII didirikan 2007 dibawah Ditjen Postel (pada awalnya) dan mengoordinir para komunitas CERT yang ada di Indonesia. ID-SIRTII memiliki wewenang memonitor log traffic internet, dan mengasistensi lembaga penegak hukum lainnya, penelitian pengembangan serta pelatihan[16]
5.     Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) - Komunitas yang diberikan hak mengelola domain .id






CONTOH KASUS

Tik Tok perlu penyaringan konten demi pencabutan blokir
Tik TokImage captionTik Tok diblokir Kemenkominfo sejak Selasa (03/07) siang.

Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijadi Pangerapan menegaskan bahwa Tik Tok harus memiliki sistem penyaringan konten sebelum pemblokirannya dicabut.

Syarat itu disampaikan kepada manajemen Tik Tok dalam pertemuan dengan Menkominfo Rudiantara.

Kepada BBC News Indonesia, Semuel menjelaskan bahwa pemblokiran dilakukan karena memang kontennya melanggar peraturan undang-undang.
"Ada pornografinya, ada beberapa yang kita temukan merupakan pelecehan terhadap agama, walaupun itu bentuknya komedi."

Pemblokiran sementara ini dianggap wajar oleh pengamat media sosial yang menilai bahwa platform seperti Tik Tok perlu untuk lebih bertanggung jawab atas kontennya.
Selain itu, menurut pengamat media sosial Nukman Luthfie, pemerintah tampaknya ingin agar perusahaan yang berbasis di Cina tersebut membuka kantor di Indonesia mengingat banyaknya pengguna di Indonesia.

Tik Tok Aplikasi Tik Tok telah diunduh lebih dari 1,6 juta pengguna ponsel Android di Indonesia.

Sebelum pertemuan, Rabu (04/07) sore, Kemenkominfo memblokir aplikasi Tik Tok karena menemukan 'pelanggaran konten' antara lain mengandung pornografi, asusila, dan pelecehan agama.
Berikut wawancara BBC News Indonesia dengan Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijadi Pangerapan.
BBC:Setelah Tik Tok menyanggupi untuk melakukan penyaringan konten, apakah pemblokiran akan dibuka?
Semuel: Jadi kita harus melakukan review. Kalau (mereka) akan, akan, akan... Ya kita juga akan, akan, akan. Makanya kita perlu ada sesuatu yang konkret.
Nah ini kan permasalahannya adalah... kalau kita bilang user-generated content tuh di mana-mana ada moderatornya. Moderator itu untuk menjaga standard community yang ditetapkan untuk platform itu ditegakkan. Nah untuk Indonesia bukan hanya standard community yang diberlakukan di platform tersebut tapi juga undang-undang yang ada di Indonesia, yang mengamanatkan untuk melakukan pengendalian terhadap konten-konten yang dianggap ilegal.

BBC:Kenapa langkah yang ditempuh adalah pemblokiran; kenapa tidak membiarkan user sendiri yang menentukan mana konten yang positif, mana yang negatif?

Semuel: Itu memang yang kita harapkan kalau ada suatu mekanisme kontrolnya, dan mekanisme itu berjalan. Jadi kita maunya nanti kan akan ke sana. Seperti Facebook kan ada mekanismenya itu pun kami punya mekanisme untuk mengingatkan mereka apabila kami yang menemukan. Ini yang kita harapkan; mereka punya suatu tata kelola yang bisa memberikan kesempatan pada semua pengguna itu untuk menjaga platform itu sesuai dengan standard community yang mereka tetapkan.

Jadi kenapa kita melakukan pemblokiran? Karena memang kontennya melanggar peraturan undang-undang. Ada pornografinya, ada beberapa yang kita temukan merupakan pelecehan terhadap agama, walaupun itu bentuknya komedi.

BBC:Tanggapan dari Tik Tok bagaimana?
Semuel: Ya mereka menyadari itu dan mereka akan melaksanakan. Untuk itu kita perlu program konkretnya. Ini yang sedang mereka siapkan dan tim kami sedang berdiskusi dengan mereka. Nah
setelah itu selesai baru kita akan melakukan pembukaan kembali.

BBC:Apakah ke depannya semua aplikasi asing yang ingin beroperasi di Indonesia harus ketemu dulu dengan Kemenkominfo?
Semuel: Nantinya iya. Nantinya malah mereka (harus) mendaftarkan diri. Aturannya sudah ada, kita akan merevisi dan membuat deadline yang lebih jelas. Semua yang ingin beroperasi di Indonesia harus mendaftarkan apa aplikasinya, batas umurnya berapa, bentuknya laporan dan itu satu hari juga jadi.
BBC: Apakah dalam pendaftaran itu salah satu syaratnya pengelola aplikasi harus membuka kantor operasi di Indonesia?
Semuel: Tergantung dari pelayanannya. Tidak harus, nanti kan dia tidak hanya comply kepada kita. Kalau dia bentuk usaha, umpamanya, dia harus comply terhadap aturan perpajakan kita ... Kita tidak ingin menyulitkan orang untuk berusaha di Indonesia tapi yang ingin kita terapkan adalah level playing field—semua yang berbisnis di Indonesia kita perlakukan sama dengan orang yang ada di Indonesia.

Di blokir 'atas laporan masyarakat'
Aplikasi Tik Tok menawarkan pengguna untuk membagikan video berdurasi 15 detik yang dihiasi dengan berbagai musik, filter, atau efek.
Platform tersebut berisi banyak video tentang tingkah polah manusia (atau hewan) yang diiringi musik, seperti berjoget dan bernyanyi dengan cara lip sync.

Kemenkominfo
Menteri Kominfo Rudiantara (mengenakan batik) bersama CEO Bytemond Ptd. Ltd. Miss Kelly Chang (tengah) usai pertemuan di kantor Kemenkominfo, Jakarta, pada Rabu sore.

Sejak Selasa (03/07) siang, Kemenkominfo memblokir delapan Domain Name System (DNS) Aplikasi Tik Tok dan hingga saat ini konten aplikasi tersebut tidak dapat diakses melalui sebagian penyedia layanan internet di Indonesia.

Kemenkominfo mengatakan pemblokiran dilakukan berdasarkan laporan masyarakat, hasil pemantaun tim pengais konten negatif (AIS) Kominfo serta laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Siaran pers Kemenkominfo juga mengatakan terdapat lebih dari 2.000 laporan masyarakat melalui aduankonten.id serta sejumlah kanal pengaduan Kementerian Kominfo. Pelanggaran konten yang ditemukan antara lain konten yang mengandung pornografi, asusila, dan pelecehan agama.
Dalam siaran pers yang dirilis Kemenkominfo, disebutkan Rudiantara meminta dua komitmen dari perusahaan layanan video pendek itu, yaitu menaikkan batas usia pengguna dari 12 tahun menjadi 13 atau bahkan 15 tahun dan, yang kedua, membuka kantor operasi di Indonesia.
"Agar bisa komunikasi lebih cepat dan mudah, termasuk jika ada konten negatif lagi," ujarnya, seraya menekankan bahwa perlakuan seperti itu berlaku untuk semua penyedia platform yang beroperasi di Indonesia.

Siaran pers juga menyebut bahwa CEO Bytemond –perusahaan yang menaungi Tik Tok – Kelly Chang mengatakan pihaknya telah merekrut 20 orang untuk melakukan penyaringan 'konten negatif' secara manual.
"Pada akhir tahun ini kita targetkan ada 200 orang yang akan menangani konten negatif sesuai permintaan Kementerian Kominfo," ujar Chang, seperti tertulis dalam siaran pers Kemenkominfo.


Tepatkah pemblokiran ini?
Pengamat media sosial Nukman Luthfie menilai pemblokiran sementara Tik Tok sebagai cara pemerintah menuntut para platform untuk bertanggung jawab terhadap konten di platform mereka.
Dan langkah itu juga dilancarkan pemerintahan lain di dunia, seperti Uni Eropa dan Jerman.
"Karena kerugian terhadap konten negatif, hoaks, pornografi, dan sebagainya itu yang kena negara. Platform enggak boleh hanya dapat user sebanyak-banyaknya, kemudian dapat uang sebanyak-banyaknya dari situ, tapi enggak mau bertanggung jawab ketika ada hal-hal yang negatif dari situ," kata Nukman.
Tik Tok, tambahnya, adalah layanan baru yang -tidak seperti media sosial populer lainnya- belum memiliki fitur pengaturan privasi dan pelaporan konten.
"Contoh begini lah, kalau kita posting konten di Facebook, kita kan boleh milih mau posting untuk diri sendiri, posting untuk teman kita saja, atau posting untuk publik. Tapi di Tik Tok tidak ada."
PrabowoHak atas fotoPRABOWO118/TIK TOKImage captionKepopuleran aplikasi Tik Tok melahirkan para selebritas baru, salah satunya Prabowo alias Bowo.

"Akibatnya apa, ketika anak-anak posting konten semua orang bisa melihatnya. Begitu juga orang dewasa, ketika dia posting di situ, dan kontennya kita kategorikan sebagai konten dewasa, semua orang bisa lihat," imbuh Nukman, yang merupakan redaktur senior majalah bisnis SWA.
Nukman juga mengatakan bahwa fitur infinite scroll di aplikasi Tik Tok bisa membuat ketagihan meski fitur ini ada di hampir semua platform daring di masa kini.
Tapi sepertinya, menurut Nukman, 'masalah terbesar' Tik Tok adalah perusahaan yang berbasis di Cina tersebut belum membuka kantor di Indonesia meski memiliki banyaknya pengguna di Indonesia.
"Facebook, Twitter itu sudah membuka kantor di Indonesia, mereka juga sangat kooperatif dengan pemerintah Indonesia jadi kalau ada apa-apa ditanggapi dengan cepat ... Coba Tik Tok? Belum tentu," ujarnya.

Mengundang
Terlepas dari kontroversi soal konten, muncul reaksi negatif dari warganet terhadap 'selebritas' yang populer karena Tik Tok. Salah satunya Prabowo Mondardo alias Bowoo_Outt_Siders yang video-video singkatnya telah disukai lebih dari tujuh juta kali.
Prabowo, yang merupakan seorang siswa SMP di Tangerang Selatan, menerima banyak komentar makian di akun Instagramnya.
Pengamat media sosial Nukman Luthfie mengira reaksi tersebut disebabkan rasa iri karena kesuksesan yang dialami para selebritas baru.
Dan menurutnya, orang cenderung lebih kasar dalam mengungkapkan kebencian di dunia maya, "Atau karena mereka pakai akun-akun yang anonim, jadi ngomong seenaknya."

Comments

Popular posts from this blog

Distribusi Peluang Teoritis

INFRASTRUCTURE IMPLEMENTATION